Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puisi Catatan Sepercik Banjir karya Ahmadun Yosi Herfanda

Puisi Catatan Sepercik Banjir karya Ahmadun Yosi Herfanda
Puisi Catatan Sepercik Banjir karya Ahmadun Yosi Herfanda


Puisi Catatan Sepercik Banjir karya Ahmadun Yosi Herfanda adalah sebuah karya yang menggambarkan perasaan frustrasi dan ketidakberdayaan terhadap bencana banjir yang terus melanda Jakarta. Puisi ini juga mengandung elemen introspeksi pribadi yang terkait dengan ulang tahun sang penyair. Berikut adalah analisis mendalam mengenai puisi tersebut:

Catatan Sepercik Banjir

Hari ini aku ulang tahun. Tapi Jakarta banjir lagi, dan aku terjebak di jalan tol. Tapi hari ini aku ulang tahun. Apakah banjir juga perlu ulang tahun? Langit gelap dan bulan yang kesiangan tersedu di balik awan kelabu. Tapi hari ini aku ulang tahun. Apa kau tak tahu. Tolong nyanyikan happy birthday, atau lagu-lagu cinta yang membara, bukan lagu-lagu patah hati itu. Bukan lagu banjir meluap, bukan lagu sampah Ciliwung yang menumpuk di ruang tamu rumahmu.

Hari ini aku ulang tahun, tapi hujan tak reda-reda dan banjir makin merata di jalan-jalan raya. Hari ini aku ulang tahun. Masih adakah tempat yang romantis dengan harga terjangkau dompet penyajak? Masih tersisakah ruang hijau yang tak tergenang air hujan? Hari ini aku ulang tahun, tapi lagi-lagi kamu menyanyikan lagu patah hati itu, lagu melankoli yang meriwayatkan hidup burammu sendiri.

Hari ini aku ulang tahun. Ah, apa pedulimu. Ulang tahun hari ini, esok atau lusa, sama saja. Banjir tetap menelan Jakarta. Lihat wajah gubernurmu yang makin kecut dan tak dapat lagi tertawa. Mungkin ia pun lupa ulang tahunnya. Hari ini aku ulang tahun, dan lagi-lagi banjir menelan Jakarta. Ah, itu baru sepercik, katamu. Monas masih menjulang, dan belum tersentuh bongkahan emasnya.

Hari ini aku ulang tahun, dan mungkin juga kau, dalam rasa sepi dan patah  hati lagi. Ya, akhirnya kudengar juga suara tangismu dalam gemuruh banjir oarta sajakku. Sungguh, ingin kuusap air matamu, tapi banjir telah menghanyutkan sapu tanganku!

Jakarta, 17 Januari 2014

Sumber: Media Indonesia (10 Mei 2015)


Analisis Puisi Catatan Sepercik Banjir karya Ahmadun Yosi Herfanda

Tema

Puisi ini mengusung tema ketidakberdayaan manusia terhadap bencana alam, khususnya banjir di Jakarta, serta perasaan kesepian dan kekecewaan yang dialami oleh penyair pada hari ulang tahunnya. Melalui penggambaran situasi banjir yang kontras dengan perayaan ulang tahun, penyair menunjukkan ironi dalam kehidupan sehari-hari.


Suasana dan Nada

Suasana dalam puisi ini terasa muram dan melankolis. Pengulangan frasa "Hari ini aku ulang tahun" di setiap bait menegaskan perasaan kecewa dan frustrasi penyair. Nada puisi ini adalah reflektif dan sedikit sarkastik, terutama saat penyair mempertanyakan apakah banjir juga perlu merayakan ulang tahun.


Gaya Bahasa dan Diksi

Ahmadun Yosi Herfanda menggunakan diksi yang sederhana namun sarat makna. Beberapa gaya bahasa yang mencolok dalam puisi ini antara lain:


Ironi: Penyair merayakan ulang tahun di tengah bencana banjir, sebuah ironi yang memperkuat kesan bahwa tidak ada yang peduli pada momen pribadi di tengah situasi krisis.

Personifikasi: Langit yang gelap dan bulan yang "tersedu di balik awan kelabu" memberikan sentuhan emosional yang menggambarkan kesedihan dan keputusasaan.

Repetisi: Pengulangan frasa "Hari ini aku ulang tahun" berfungsi untuk menekankan keterkaitan antara peristiwa banjir dan momen pribadi penyair.


Struktur dan Bentuk

Puisi ini terdiri dari beberapa bait yang masing-masing diakhiri dengan repetisi frasa "Hari ini aku ulang tahun." Bentuknya yang bebas tanpa rima tetap membuat puisi ini memiliki aliran yang mengalun dan menegaskan pesan yang ingin disampaikan oleh penyair.


Simbolisme

Banjir: Banjir dalam puisi ini tidak hanya merepresentasikan bencana alam, tetapi juga simbol dari masalah yang terus menerus dan tidak terselesaikan di Jakarta.

Ulang Tahun: Ulang tahun melambangkan harapan dan perayaan, namun dalam konteks puisi ini, ulang tahun justru menjadi momen refleksi dan kesedihan karena situasi lingkungan yang buruk.

Monas: Monumen Nasional (Monas) yang masih menjulang dan belum tersentuh banjir, menjadi simbol harapan dan ketahanan di tengah bencana.


Pesan

Melalui puisi ini, Ahmadun Yosi Herfanda menyampaikan kritik sosial terhadap ketidakmampuan pemerintah mengatasi masalah banjir yang terus menerus terjadi di Jakarta. Selain itu, puisi ini juga menggambarkan perasaan pribadi penyair yang merasa terabaikan dan kesepian di hari ulang tahunnya, menekankan bahwa kehidupan pribadi pun terganggu oleh masalah sosial dan lingkungan.


Penutup

Puisi "Catatan Sepercik Banjir" menggambarkan situasi nyata yang dihadapi masyarakat Jakarta dengan cara yang sangat personal dan emosional. Ahmadun Yosi Herfanda berhasil menyampaikan pesan kritik sosial yang kuat melalui ungkapan perasaan pribadi yang mendalam. Puisi ini tidak hanya mengajak pembaca untuk merenungkan masalah banjir, tetapi juga menggugah kesadaran akan pentingnya perhatian dan kepedulian terhadap lingkungan dan sesama.

Posting Komentar untuk "Puisi Catatan Sepercik Banjir karya Ahmadun Yosi Herfanda"